Short Story



" APAKAH KAU MELIHAT LANGIT MENTARI SENJA? "

“Perkemahan musim panas akan diadakan besok pagi?” pikir gadis itu ketika hendak berjalan keluar dari ruang kelas. Suasana hiruk piruk. Papan pengumuman itu benar-benar dipenuhi oleh lautan manusia. Sepasang mata beningnya menatap ke arah kerumunan yang padat. Pandangannya beradu selintas, hanya sekian detik. Sinar matahari menyinari rambut pirangnya yang terulur panjang.
 Angin sepoi-sepoi meniup pinggiran renda roknya yang terjuntai. Sebuah name tag  yang tersemit di rompi seragamnya itu pun bergoyang mengikuti alunan langkahnya. Name tag berwarna hitam polos bertuliskan namanya, “Wendy Lamont”, yang ditulis latin menggunakan tinta putih berpadu dengan warna silver yang mencolok.
Begitu pula dengan rompinya yang terlihat selaras dan menyatu pada bayangannya yang panjang. Hitam polos bermotif kotak-kotak dan berhiaskan pita kupu-kupu di bagian belakangnya.
Gadis itu berjalan menelusuri koridor, kemudian melangkahkan kaki mungilnya di atas deretan anak tangga yang melingkar. Butiran debu halus menempel pada telapak tangannya yang berkeringat. Kerumunannya masih terlihat padat, sedangkan asupan oksigen sudah mulai berkurang.
“Wendy!” Terdengar suara dengan nada lantang dan jernih, menggema ke seluruh koridor kemudian berakhir di ruang lobi.  “Siapa?” Wendy menengok ke arah sumber suara, lalu didapatinya seorang gadis bertubuh kurus dan ramping tengah menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Rambut cokelat madunya mengembang tertiup angin semilir. Sementara mata hijau saphirenya membentuk sebuah tatapan hangat nan indah. Dan orang-orang memanggilnya Jill Bradley, teman dekat Wendy yang berwajah tirus.
“Wendy, apa kau sudah tahu? Perkemahan bergengsi sepanjang musim panas akan dilaksanakan besok pagi! Semua orang membicarakannya, hampir semuanya. Tapi - hei kita akan ikut serta juga kan? Jill meloceh dengan panjang lebar, sampai ia merasa takut bahwa Wendy akan bosan untuk mendengarkannya. Wendy terdiam sejenak. Singgung garis senyum tak lama terbentuk di wajahnya.
“Ya, kita harus ikuti perkemahan itu!” Tutur Wendy sambil menyilangkan tangan di bawah dada. Jill bersorak, sedangkan Wendy hanya tertawa gugup. “Tapi, formulir pendaftarannya ada di papan pengumuman itu. Kau sudah mendapatkannya?”
“Tenang saja, sudah ku daftarkan.”
“APA!!” Wendy terkesiap. “Ba ... Bagaimana bisa kamu menembus kerumunannya?”
“Itu sederhana.” Ujar Jill sambil menjetikkan jari. “Sudahah, lupakan saja, ayo pulang.” Tambahnya lagi. Ia berjalan menuju ruang kelas dan meninggalkan Wendy yang masih saja berpikir keras. “Hei, Jill! Kau belum menjawab pertanyaanku! Heiiii ...” Wendy berlari untuk mengejarnya hingga ke pintu ruang A4, kelas X Geografi yang di mana tempat itu adalah ruang kelasnya sendiri. Mereka hanya menatap satu sama lain, berdiri memaku tanpa bergeming sekalipun. Seluruh siswa yang berpapasan dengannya melirik penuh keheranan. Bahkan, lirikan matanya itu mampu mengubah suasana menjadi terasa dingin dan beku. Padahal, sang Raja siang telah menyoroti sinar yang lebih terang.
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba, 4 orang gadis sebayanya mengitari mereka dengan wajah yang menantang. Dagunya diangkat tinggi-tinggi, mukanya memerah seperti bara api, dan urat nadi di lehernya menebal sampai membentuk sebuah benjolan kecil. Mereka memiliki ciri-ciri yang begitu khas. Rambutnya terkucir rapi seperti ekor kuda, gelang berbatu rubi menghiasi tangannya, dan juga kalung panjang yang melingkar elegan di leher mereka. G4, itulah julukannya. G4 atau lebih dikenal dengan Girls 4 (Four) adalah sekelompok genk yang dipimpin oleh salah satu siswa konglomerat, yaitu, Sara Walter. Siswa kelas X Geografi mungkin akan selalu berhati-hati terhadapnya. Sifatnya yang dikenal egois, kejam, dan memiliki gengsi tinggi adalah salah satu alasan mereka untuk menghindarinya. Namun, itu tidaklah berlaku bagi Jill dan juga Wendy.
“Oh, kalian.” Kata Wendy dengan perlahan. “Apa yang membuat kalian menjadi seperti ini?”
“Seharusnya kami yang bertanya. Apa yang membuat kalian untuk ikut serta dalam perkemahan itu, Wendy Lamont?  Jangan harap kalian mampu mengalahkan kami.” Sambar Sara yang agak berlagak sombong. Teman-temannya tertawa sinis.
“Perkemahan itu hanya berlaku untuk 2 orang. Kalian tidak bisa mengikutinya.” Sanggah Jill sambil mengangkat salah satu alisnya. Sara mulai menggeram.
“Jangan pernah bermain-main denganku Nona Bradley! Orang tuaku tidak akan bisa membiarkan putri kesayangannya untuk kalah dari gadis biasa seperti kalian. Benar kan?”
“Maaf, tetapi, harta dan kedudukan itu tidak begitu penting! Jika kau ingin membuktikannya, ayo kita bersaing,” Wendy mengulurkan tangannya. Sara memutar kepalanya sejenak. Selintas rasa ingin tahu pun terbentuk, kemudian berevolusi menjadi sebuah ambisi yang tinggi. “Oke, kami setuju. Sampai jumpa di perkemahan nanti.”
Tanpa menunda waktu, Wendy langsung masuk ke dalam ruang kelas, merapikan buku-buku pelajaran, memasukkannya ke dalam tas, lalu berjalan menuju gerbang sekolah. Disusul pula dengan Jill yang masih menahan amarah. Asap di atas kepalanya mengepul seperti cerobong atap rumah. Hembusan napasnya kini terdengar lebih berat.
“Jill, apa kau baik-baik saja?” Wendy membalikkan tubuhnya. Roknya mengembang seperti cendana merah. Jill menganggukkan kepala dua kali kemudian berjalan berdampingan dengannya lagi.
“Kamu yakin bisa mengalahkan mereka? Jill memberanikan diri untuk memulai percakapan, sedangkan Wendy menanggapinya dengan senyuman penuh kepuasan. “Tentu, aku yakin itu.”
****
Keesokan harinya, di hari perkemahan, seluruh peserta berkumpul di tengah padang rumput hijau di dekat  pegunungan muda Chorsmerie. Udaranya terasa sejuk. Jajaran pohon oak dan papinus berdiri kokoh, dan mengeluarkan aroma kayu yang segar seperti tonik. Wendy menghela napas, begitu pula dengan Jill. Sara dan salah satu temannya, Laura, menatap mereka dengan tatapan penuh kebencian. Ia masih tak percaya bahwa wendy mampu untuk mengalahkannya. Hatinya bergemuruh, pikirannya kacau tak karuan. Sara bergumam. Aku harus dapat mengalahkannya, ini kesempatanku! Ya, kesempatanku!
“Perhatian-perhatian, seluruh peserta diharapkan berkumpul untuk apel pembukaan. Sekali lagi, seluruh peserta diharapkan berkumpul untuk apel pembukaan.” Sorak salah satu panitia dari kejauhan. Semuanya berkumpul dan berbaris di tengah padang yang luas. Suasana begitu tenang, hanya terdengar kicauan sekelompok burung kecil yang terbang melesat dari puncak pepohonan yang kecil dan ramping.
“Oke, Selamat pagi semuanya. Selamat datang dan selamat bergabung di perkemahan musim panas. Baiklah, kali ini kalian akan berpetualang menelusuri hutan emerald untuk memecahkan teka-teki yang tersebar di setiap pos-pos yang telah disediakan. Setiap kelompok terdiri dari 2 anggota. Dan masing-masing kelompok akan disuguhi dengan 1 peta. Namun, ada 1 hal yang perlu kalian ketahui. Untuk petualangan kali ini kalian tidak akan diperbolehkan untuk membawa ponsel maupun alat bantu lainnya. Di perjalanan nanti, kalian juga akan diawasi oleh CCTV yang telah kami pasang di setiap seluk beluk pepohonan. Jika kalian ingin mengundurkan diri, kalian dapat mengangkatkan tangan ambil mengatakan kata ‘menyerah’. Nah – untuk saat ini, apakah ada pertanyaan?”
“Tidak ...” Ucap seluruhnya dengan serentak.
“Baiklah, jika tidak ada, silakan kalian mengambil petanya di meja panitia. Terima kasih, dan selamat berpetualang.” Tanpa menunda waktu lagi, Jill langsung berlari menuju meja panitia, mengambil sebuah peta berukuran sedang yang tergulung rapi sempurna.
“Wendy, aku sudah mendapatkannya. Ayo!” Teriaknya sambil berlari kencang. Wendy mengambil senter dan tas ranselnya yang tergeletak di tanah, setelah itu berjalan menuju hutan emerald dengan bersemangat.
“Hmm ... Coba kita lihat petanya. Kita ada di sini dan pos pertama ada di ... “ Jari telunjuk Jill menari-nari di atas peta, mengikuti garis merah yang berkelok-kelok seperti kurva. “Uh ... Lumayan jauh juga ya.” Sanggah Wendy yang tiba-tiba menarik lembaran petanya tersebut. Jill meringis.
“Hei, tak apa. Ayo bernyanyi.” Ucap Jill meledek
“Tidak. Aku bukanlah anak kecil.”
“Ayolah ...”

****
POS PERTAMA
            “Kita sampai.” Pikir mereka berdua bersamaan. Mereka berjalan mendekati pos tersebut. Di dalamnya terpampang sebuah papan kayu bertuliskan teka-teki yang ditulis dengan menggunakan huruf latin. Mereka membacanya dengan seksama dan perlahan.

Ini sebuah kunci
kunci rahasia yang bisa kau baca tetapi tidak bisa kau dengar.
Kunci apakah itu?”


“Hei, apa ini?” Tanya Wendy.
“Tunggu ... Kunci yang dapat kau baca tetapi tidak bisa kau dengar.” Jill mulai berpikir sejenak. Ia berdiri mematung kemudian tertawa terbahak-bahak.
“Apakah itu ... Sandi angka?” Ujarnya santai. Seketika sebuah tali tambang terjatuh dari atas atap. Lampu jalanan yang menuju ke arah pos kedua telah bersinar. Baginya, ini adalah sebuah keberuntungan untuk mendapatkan soal teka-teki yang begitu mudah.
“Dari mana kau tahu semua itu, Jill?”
“Kau tahu, Bibi March selalu menggunakan pola itu untuk mengelabuhiku.”
“A ... Aku tidak terlalu paham dengan ucapanmu.”
“Tak apa. Hei – tinggal berapa pos lagi?” Ulas Jill sembari membaca arah peta selanjutnya. “Tinggal 2 pos lagi. Tetapi ... Jarak pos terakhir begitu jauh.” Jawab Wendy dengan mengeluh.
                 Mereka mengikuti arah petunjuknya hingga ke dalam hutan belantara yang diapit oleh tebing batu kapur yang menjulang tinggi bagaikan menara besar di atas semak-semak di sepanjang tepi sungai yang rendah. Saat jalan setapak mendekati tepi air, semak-semak tampak semakin rimbun, menghalangi jalanan, dan Wendy memukulnya dengan ranting pohon sambil terus memperhatikan langkahnya.
“Lihat! Itu pos kedua. Kau bisa melihatnya?” Tutur Jill senang.
“Ya, tentu! Jaraknya begitu dekat, bukan? Nah – Sekarang apa?”
“Berkebun,” Kata Jill singkat. Mata cokelat Wendy terbelalak. “Apa? Berkebun.Bagaimana bisa?”
“Lihat, di atas pohon itu? Terdapat sebuah gambar orang berkebun, kan?” Ujar Jill sambil menunjukkan jarinya ke arah atas pohon tinggi tersebut.“ Ayolah, kita gunakan tali tambangnya untuk mengambil air dari dalam sumur.” Katanya lagi.
“Baiklah-baiklah.”
            Tak lama, mereka pun mulai berkebun, mencangkul tanah yang luasnya sekitar 1,5 hektar, menanam bibit-bibit yang telah tersedia, lalu memberi pupuk, serta menyiraminya. Kedua gadis itu membagi tugas dengan sangat baik, sampai langit biru cerah berubah menjadi kemerah-merahan. Sang surya telah tenggelam di ufuk barat. Hari semakin gelap, rasa lelah telah menjalar dan menggumpal di seluruh persendian.
“Kau lelah?” Tanya Wendy terengah-engah. “Jill menganggukkan kepalanya. “Tentu saja. Ini pertama kalinya aku berkebun, kau tahu?”
Wendy tertawa kecil. Ia menepuk bahu Jill dengan begitu keras. “Aww!! Kau ini kenapa?” Teriak Jill kesakitan.
“Maaf ... Maaf. Kau ini lucu sekali. Katanya anak alam, cinta petualangan, tapi tak pernah berkebun? Itu aneh ...”
“Tak semua anak alam itu bisa berkebun, Gyn!” Jill mengelak. Ia berjalan menuju batu besar yang sedikit licin. Tanpa disadari, sebuah ranting berduri menancap sol sepatunya, menembus ke dalam dan melukai telapak kakinya. “Apa ini?! Wendy, tolong lepaskan!”
Dengan sigap, Wendy berlari untuk membantu melepaskan sepatu yang dikenakannya.
            Setelah dilepaskan, tampak kaus kaki putihnya telah berlumuran darah. Telapak kakinya membentuk luka yang begitu dalam. Wendy membasuh darah itu dengan kain putih yang melingkar di pinggangnya. Ia menghembuskan nafas.
“Kita harus menang, Jill. Bisakah kau melanjutkan perjalanan?” Tanya Wendy dengan nada tinggi. Jill mencoba berdiri. Hampir puluhan kali ia mencobanya, namun tetap saja ia terjatuh di tanah. Wendy menggeram, wajahnya mulai memerah. Entah apa yang terjadi dengannya. Bahkan angin, tanah, dedaunan, Jill, mereka semua tak ada yang tahu. Tiba-tiba Wendy berbalik arah, mengambil sebuah peta yang terselip di sela-sela semak belukar. Jill memperhatikannya. “
Hei!” Teriaknya. “Mau kemana?” Jill masih terduduk di dekat batu besar. Wendy hanya melirik sebentar lalu mengabaikannya.
“Aku akan melanjutkan perjalanan. Aku harus menyelesaikannya, Jill! Sara tidak boleh menang! Aku yang harus menang!” Jelasnya kasar. “Toh, ini juga berkaitan dengan harga diri bukan? Aku tidak membutuhkanmu, aku bisa menyelesaikannya sendiri.”
Jill memukul telapak tangannya. “Ada apa denganmu? Kau ini ...”
“Ssstt ... Aku tahu ini egois. Tapi, apa salahnya egois demi kemenangan.” Sanggah Wendy ketus. Jill menanggapinya dengan mengabaikan pandangan. Tanpa hitungan detik, sosok Wendy itu telah menghilang, seperti dedaunan kering yang tertiup angin musim gugur, hilang tanpa meninggalkan jejak.
            Jill masih bersandar di tepi batu besar. Ia masih memikirkan kelakuan Wendy yang sedikit aneh. Diraihnya sebuah liontin berbentuk hati yang menghiasi leher pendeknya. Sebuah liontin bertanda persahabatan itu dibantingnya, kemudian membelah menjadi dua. Tak tahu dari mana asalnya, tiba-tiba seorang pemudi berambut panjang dan mengenakan gaun putih langsat muncul dihadapannya. Pemudi itu mendekati Jill dengan tersenyum, seolah ingin menghibur dirinya yang termenung kesepian.
“Ka ... Kau ... Kau siapa?” Ucap Jill dengan tatapan penuh ketakutan. Seberkas cahaya muncul menyinari mereka berdua. Entah dari khayalan atau apa, udara di sekitarnya mulai terasa sejuk dan juga nyaman. Ranting-ranting pepohonan memeluk Jill penuh kelembutan. Pemudi itu masih menatapnya.
“Aku, Sirila, sosok yang selalu ada di sampingmu. Tetapi, di mana Wendy? Kenapa kau menyendiri seperti ini?”
“Ini salah Wendy. Dia bukan teman dekatku lagi! Aku benci sahabat! Dan kau, apa maumu datang ke sini, ha? Aku muak dengan semuanya. Aku tidak percaya lagi dengan persahabatan. Buktinya, ia meninggalkanku.” Jelas Jill dengan kesal. Apapun jawabannya, pemudi itu masih tetap memperlihatkan senyuman damainya. Dia seperti tidak pernah mengenal kesedihan. Hanya sebuah keceriaan yang terpancar di wajahnya.
“Hei, sahabat akan selalu bersama. persahabatan itu indah, seperti langit mentari senja. Apa kau bisa melihatnya? Jangan pernah membencinya. Aku tahu, dia pasti akan datang kembali untuk dirimu. Percayalah ...”
“Langit mentari senja? Tapi, jika tidak?”
“Percayalah.”
“Baik, aku akan menunggunya. Terima kasih, Siri ... La ...”
Seketika, pemudi itu menghilang seperti kilatan cahaya. Lalu, puluhan kunang-kunang terbang mengelilingi Jill dengan penuh suka cita. Gelak tawa Jill terdengar sangat merdu, hingga seperti suara nyanyian peri hutan yang bermain-main di bawah naungan sang Dewi Malam. Kemudian ia bergumam : Tahukah kau, Wendy, mereka datang untuk menghibur hati yang kesepian.
****
            Di situasi yang lain, Wendy Lamont menyusuri hutan seorang diri hingga tiba di bagian pos terakhir. Pos yang diharap-harapkan oleh para peserta lainnya. Sebuah tali merah terhampar di tanah  yang becampur dengan kerikil tajam. Tali itu menuntunnya untuk mendekati teka-teki yang terakhir. 15 menit kemudian, dari kejauhan, tampak sebuah pintu gerbang besar yang dihiasi oleh tanaman rambat dan patung burung merpati di tengahnya. Ia mencoba mendekat. Papan kayu bertuliskan teka-teki kembali terpampang di dekat tembok pintu gerbang. “Ini dia, teka-teki terakhir.” Ujarnya di dalam hati.

FINAL POS
TEKA-TEKI TERAKHIR :
HARTA PALING BERHARGA, YANG SANGAT SULIT UNTUK DITEMUKAN. NAMUN, SANGATLAH MUDAH UNTUK DIBUANG/DILUPAKAN. KAU HARUS MENJELAJAH KE SELURUH TEMPAT UNTUK MENEMUKANNYA. TAK ADA PETA. HANYA HATI NURANI, KEBERSAMAAN, DAN KESETIAAN ITULAH YANG DAPAT MENEMUKANNYA


“Harta berharga?” pikirnya sambil berjalan kesana dan kemari. “Apakah itu kemenangan?”
“Well ... Well ... Well, Wendy Lamont ada di sini juga rupanya.” Sambar Sara yang tiba0tiba datang dari arah barat. Ia dan Laura berjalan mendekat dengan begitu angkuh. Wendy mengernyitkan dahi.
“Kau ...”
“Ya, Wendy. Ini aku, Sara.”
“Bagaimana bisa kalian datang secepat ini? Jangan-jangan kau berbuat curang, ya?”
“Aku? Hei, lihat ... Ini murni! Dan, di mana partner bodohmu itu? Aku tidak melihatnya.”
“Oh, dia ... Dia sakit. Ah, sudah lupakan saja.”
“Hah? Bagaimana bisa kamu dapat menyelesaikan teka-teki pos terakhir tanpa partnermu itu? Teka-tekinya hanya dapat terselesaikan oleh dua orang, bukan seorang diri sepertimu!”
“Tidak! Aku bisa melakukannya,” ucap Wendy tak peduli. Sara dan Laura menatap satu sama lain, lalu mengeluarkan peta dan membalik bagian belakangnya.
“Lihat ini ... “ ujar Sara ketika hendak menyodorkannya. Wendy mencoba mendekat untuk mengamati bagian belakang peta tersebut. Tertulis di dalamnya sebuah petunjuk kecil yang tidak mudah diketahui oleh peserta lain : Gerbang terakhir hanya akan terbuka jika kalian melakukannya bersama-sama.
            “Apa-apaan ini!” Bantahnya. “Aku tak mengerti.”
“Itulah kunci terakhirnya, Wendy Lamont.” Jawab Laura yang sedang menatapnya sinis. Wendy mulai berpikir, terdiam sejenak sambil memejamkan kedua mata. Harta paling berharga, yang sangat sulit untuk ditemukan, namun sangatlah mudah untuk dibuang/dilupakan. Kau harus menjelajah ke seluruh tempat untuk menemukannya. Tak ada peta. Hanya hati nurani, kebersamaan, dan kesetiaan itulah yang dapat menemukannya. Hmm ... Kukira aku mulai mengerti. Apakah itu sahabat?Ya!! Jill! Dia kuncinya. Tanpa berpikir panjang, Wendy langsung berlari ke dalam hutan untuk mencari keberadaan teman dekatnya itu. Wajah Sara dan Laura seketika berubah menjadi pucat. Mereka merasa heran. Sementara gadis yang dibencinya itu tengah menghilang ditelan gelapnya hutan belantara.
            Hampir 20 menit lamanya, Wendy kini telah menemukan Jill yang sedang terduduk di dekat batu besar yang licin. Gadis itu terduduk sambil tersenyum seorang diri.
“Apa itu kau, Wendy? Hmm ... Aku tahu kamu akan kembali. Apakah sudah berakhir?” Tanyanya dengan terkekeh kecil.
“Belum, kaulah yang akan mengakhirinya, Jill.”
“Aku? Kenapa aku? Bagaimana dengan teka-tekinya? Kita kalah, ha?”
“Entahlah, aku tidak peduli. Mau kalah atau menang, aku tidak akan peduli. Tapi, aku ... Aku  ingin minta maaf atas kata-kata kasarku tadi. Aku terlalu egois. Seharusnya aku memperdulikanmu, bukan meninggalkanmu seperti ini. Sahabat akan selalu bersama, dan aku ...”
“Sudahlah, tak apa aku mengerti.” Jill menyelamatkannya dari perasaan tidak enak. “Sekarang, ayo selesaikan teka-tekinya bersama.” Tambahnya dengan penuh semangat.
            Mereka berjalan perlahan menuju pos ketiga. Setelah sampai, mereka langsung menjawab teka-teki tersebut dengan lugas. Kunang-kunang di sekitarnya menerangi mereka dengan cahaya hangat laksana surya. Bahkan, Sirila pun juga ikut serta diantara mereka. Ketika mereka berkata, “Tak peduli untuk menang atau kalah, kami akan tetap terus bersahabat. Sahabat untuk hari ini, esok, dan selamanya.” Seketika pintu gerbang besar itu pun terbuka. Mereka bersorak kegirangan. Semuanya telah usai seperti langit mentari senja. Ya, sosoknya memang terlihat begitu indah, meskipun gelapnya malam telah melenyapkannya namun, memang begitulah seharusnya, hari ini berakhir, lalu malam yang mengulang baru semua telah datang. Dan sahabat, akan selalu seperti itu juga.

-SELESAI-

By: Sabrina Salsabila (Greelivant El Vanza)

Komentar